Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap
hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan membuat pernyataan
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat
Pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee
dan landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang kurang paham
mengenai absentee dan landreform. Bahkan saya pernah membaca
ada akta Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan
Pembelinya berstatus absentee. Pelaksanaan landreform
diatur oleh Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian, sebagaimana dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 telah disahkan
menjadi Undang-Undang. Landreform dalam arti sempit adalah upaya
penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, merupakan bagian pokok
dalam konsep agrarian reform (pembaruan agraria). Landreform
di Indonesia berinduk kepada UUPA, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UUPA
sebagai berikut:
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee
berpangkal pada dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu
sebagai berikut :
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai
sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat
(1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan sebagai berikut :
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal
di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib
mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah
itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.
Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No.
41/1964 menentukan :
“Dilarang untuk melakukan semua bentuk
memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang
bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat
tinggal”.
Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang
merupakan ketentuan dari absentee, antara lain :
1. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan
sendiri secara aktif.2. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanahnya.
3. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.
4. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya.
5. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.
Pengecualian terhadap ketentuan penguasaan dan
pemilikan tanah secara absentee, bahwa “Pemilik tanah yang bertempat
tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan tempat letak
tanahnya, asalkan masih memungkinkan tanah pertanian itu dikerjakan secara
efisien” (vide Pasal 3 ayat (2) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964).
Ada dua cara untuk mengatasi masalah kepemilikan
tanah secara absentee bagi calon pembeli, yaitu:
1. Pemohon (calon penerima hak) bertempat tinggal secara
nyata di Kecamatan tempat letak objek (lihat uraian di atas).2. Status tanah sawah (pertanian) tersebut diubah dahulu menjadi tanah pekarangan. Hal ini biasa dikenal dengan Ijin Pengeringan.